Kamis, 19 Februari 2009

Kataku pada SABAR

Bismillaah..
Ikhwah, tahu tidak?? Tulisan tentang sabar di atas cukup membuatku sadar bahwa aku bukan seorang yang sabar. Tepatnya, belum berusaha. Namun, untuk Allah segalanya patut untuk di usahakan. Begitu kan?
Pesanku (untukku dan pembaca lainnya), cobalah untuk membaca dengan penuh penghayatan. Terutama untuk semua bacaan yang penting, terkait dengan ilmu syar’I yang shahih yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Karena kadang membaca hanya sekedar membaca, tidak dipahami terlebih untuk diamalkan...
Setidaknya, dari sebuah tulisan yang kita baca ada satu hal penting yang nyantol di korteks serebri (otak) kita. Misalnya saja, sesaat sebelum aku mengetik ulang tulisan di atas, hal yang melekat baik di otakku adalah kalimat “SABAR YAITU MENELAN KEPAHITAN TANPA MENGERUTKAN MUKA”
Nah, seumur-umur, aku belum pernah menelan sesuatu yang pahit tanpa mengerutkan muka. Maka dari itu, aku berani bilang bahwa aku seorang yang jauh dari sifat sabar...
Semangat untuk bersabar!! Ingat, dalam 4hal yaitu sabar atas perintah yang harus kita kerjakan, larangan yang harus kita jauhi, takdir yang harus kita terima, dan nikmat yang harus kita syukuri.
Allahu ta’ala a’lam bish shawab.
Wal ‘ilmu ‘indallah.

SABAR...

Allah ‘azza wa jalla menjadikan sabar bagai kuda yang tak pernah letih, pedang yang tak pernah tumpul, pasukan perang yang tak terkalahkan, dan benteng yang tak tertaklukkan.
Sabar dan kemenangan ibarat dua saudara kandung. Dalam Al-Qur’an, Allah ‘azza wa jalla telah memuji orang-orang yang sabar. Bagi mereka, pahala yang tak terputus. Dia selalu bersama mereka dengan hidayahNya, pertolonganNya yang mulia, dan kemenangan yang nyata dariNya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
Dan bersabarkah kalian! Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (Al-Anfaal : 46).
Dengan kebersamaan Allah ‘azza wa jalla inilah, orang-orang yang sabar dapat mencapai kebaikan dunia dan akhirat serta mengenyam kenikmatan lahir dan batin. Juga, Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan imaamah (kepemimpinan) dalam dien kepada orang-orang yang sabar dan yakin. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
”Dan diantara mereka Kami jadikan pemimpin-pemimpin yang menjadikan perintah Kami sebagai petunjuk. Yaitu ketika mereka sabar dan yakin kepada ayat-ayat Kami” (As-Sajadah : 24)
Dengan tegas Allah ‘azza wa jalla memberitahukan bahwa sabar itu lebih baik daripada yang lain, bagi yang memilikinya.
”Sungguh, jika kalian sabar, kesabaran itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (An-Nahl : 126).
Allah ‘azza wa jalla juga memberitahukan bahwa bersama sabar dan taqwa, musuh tak akan dapat mengalahkan kita, sekuat apapun mereka.
Allah ‘azza wa jalla juga mengabarkan bahwa dengan kesabarandan ketaqwaan, tipu daya musuh-- secanggih apapun—tidak akan mendatangkan mudharat.
”Dan jika kalian sabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan mendatangkan mudharat bagi kalian. Sesungguhnya Allah Maha Meliputi atas apa yang mereka kerjakan” (Ali-Imran : 120).
Allah ‘azza wa jalla juga menggantungkan kemenangan pada sabar dan taqwa.
Wahai orang-orang yang beriman! Sabarlah, kuatkanlah kesabaranmu, ribathlah ( berjaga-jaga di wilayah perbatasan), dan bertaqwalah kepada Allah ‘azza wa jalla, agar kalian mendapatkan kemenangan. (Ali ‘Imran : 200).
Allah ‘azza wa jalla juga memberitahukan bahwa Dia mencintai orang yang sabar. Hal ini merupakan kabar yang menggembirakan.
”Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar” (Ali ’Imran : 146).
Allah ‘azza wa jalla juga mendatangkan kabar gembira berupa tiga hal yang yang akan didapat oleh orang-orang yang sabar. Tiga hal yang lebih baik daripada semua yang diperebutkan oleh pencinta dunia.
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang jika ditimpa suatu musibah berkata, “Sesungguhnya kita ini milik Allah, dan kepadaNyalah kita kembali.”
“Merekalah orang-orang yang mendapat salam kesejahteraan dan rahmat dari Rabb mereka. Dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah : 155-157)
Allah ‘azza wa jalla juga menjanjikan kemenangan dengan surga dan keselamatan dari api neraka hanya kepada orang-orang yang sabar.
“Sesungguhnya Aku membalas mereka pada hari ini dengan sebab kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (Al-Mukminun : 111).
Allah ‘azza wa jalla juga mengkhususkan bahwa yang dapat mengambil manfaat dari ayat-ayatNya hanyalah orang yang sabar dan orang yang bersyukur. Di empat tempat yang terpisah Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Sesungguhnya dalam yang demikian itu ada tanda-tanda (ayat) bagi setiap orang yang banyak sabar dan banyak bersyukur. (Ibrahim : 5)
Demikianlah, tidak ada iman bagi yang tidak memiliki kesabaran. Kalau pun ada pastilah sedikit dan sangatlah lemah. Pemiliknya beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla di sisi jurang. Apabila mendapati kebaikan merasa tentram. Dan sedikit saja tertimpa musibah, ia tinggalkan keimanannya. Rugi dunia dan rugi pula akhirat. Ia tidak mendapatkan sesuatu pun darinya selain kerugian.
Kehidupan terindah telah dirasakan oleh orang-orang yang mulia dengan kesabaran mereka. Dan dengan kesyukuran, mereka mencapai derajat yang tinggi. Mereka terus berjalan bersama kesabaran dan kesyukuran menuju taman surga Na’im. Itulah anugerah Allah ‘azza wa jalla yang Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah ‘azza wa jalla lah yang memilki anugerah yang agung.

MAKNA DAN HAKIKAT SABAR
Secara bahasa sabar berarti melarang dan menahan. Menurut syara’ ia berarti menahan nafsu dari ketergesaan, menahan lisan dari keluhan, dan menahan anggota badan dari memukul-mukul pipi dan merobek-robek pakaian (ungkapan kesedihan), atau yang lainnya.
Ada yang mengatakan, ”Sabar adalah akhlak yang mulia. Dengannya seseorang akan tercegah dari perbuatan tercela. Sekaligus, sabar adalah kekuatan untuk mencapai kebaikan dan kelurusan segala urusan”.
Al-Junaid pernah ditanya tentang sabar. Dia menjawab, ”Yaitu menelan kepahitan tanpa mengerutkan muka.”
Dzun Nuun Al- Mishry berkata, ”Sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan agama, bersikap tenang ketika menghadapi ujian yang berat; menampakkan kecukupan dikala kefakiran datang ke tengah medan kehidupan.”
Ada juga yang mengatakan, ”Sabar adalah berlapang dada ketika ditimpa musibah tanpa berkeluh kesah.”
Pernah, seorang yang shalih mengetahui seseorang yang mengeluh kepada saudaranya. Maka ia pun memberi nasihat dan berkata, ”Wahai Saudara, Demi Allah tidak ada untungnya bagimu mengeluhkan Yang Mengasihimu kepada yang tidak mengasihi kamu.”
Tersebut dalam sebuah syair,
Bila Anda mengeluh pada anak Adam
Artinya Anda mengeluhkan Yang Maha Pengasih kepada yang tidak mengasihi.
Mengadu atau berkeluh kesah itu ada dua macam.
Pertama, mengadu kepada Allah ‘azza wa jalla. Hal ini tidak dianggap merusak kesabaran. Contohnya keluhan Nabi Ya’qub, saat beliau berkata,
“Hanyasanya kuadukan kedukaan dan kesedihanku ini hanya kepada Allah” (Yusuf : 86).
Juga,
“Maka, bersabarlah dengan kesabaran yang baik” (Yusuf : 83).
Kedua, keluhan seseorang yang sedang diberi cobaan, baik dengan perbuatan atau pun dengan perkataan. Perbuatan ini tidak mungkin bisa bertemu dengan kesabaran. Bahkan keduanya saling bertentangan, saling membatalkan.
Sabda Rosul shallallahu’alayhi wa sallam,
Dan tidaklah seseorang itu diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang dari sabar.79

NAFSU...

Nafsu (diri) adalah kereta kencana bagi seorang hamba dalam perjalanannya menuju surga atau neraka. Sabar adalah tali kekang dari kereta itu. Jika kereta tidak dilengkapi tali kekang, tentulah ia akan berjalan tanpa kendali, meluncur ke mana saja.
Di antara pidato Hajjaj adalah yang berbunyi, ”Tegurlah nafsu-nafsu itu! Sesungguhnya mereka selalu cenderung kepada setiap keburukan. Telah mendapat rahmat dari Allah ‘azza wa jalla, seseorang yang mencarikan pengekang dan pengendali bagi nafsunya.
Dengan pengendali itu, ia menuju kepada ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan dengan pengekang ia terhindar dari bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebenarnya, bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla itu lebih mudah daripada bersabar terhadap adzabNya.”
Nafsu itu mempunyai dua kekuatan; kekuatan untuk maju dan kekuatan untuk bertahan. Hakikat sabar adalah mengarahkan kekuatan untuk maju kepada hal-hal yang bermanfaat dan mengarahkan kekuatan untuk bertahan kepada menghindari hal-hal yang mendatangkan mudharat. Di antara manusia ada yang bersabar dalam qiyamullayl dan beratnya puasa, tetapi tidak mampu bersabar dalam menjaga pandangan terhadap yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Ada juga yang mampu bersabar dalam menjaga pandangan tetapi tidak mampu bersabar dalam hal amr ma’ruf nahi munkar dan jihad.
Dikatakan pula, sabar adalah keberanian nafsu (diri/jiwa). Dari sinilah, dikatakan bahwa, keberanian itu adalah kesabaran sesaat. Sabar dan keluh kesah adalah dua hal yang berlawanan. Seperti difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla,
“Sama saja bagi kita, apakah kita berkeluh kesah atau sabar, tidak ada tempat untuk melarikan diri” (Ibrahim : 21)

PEMBAGIAN SABAR
Ditinjau dari objeknya, sabar itu ada tiga. Pertama, sabar terhadap perintah, yaitu dengan melaksanakannya. Kedua, sabar terhadap larangan dan hal-hal yang menyelisihi syari’at, yaitu dengan menjauhinya. Ketiga, sabar terhadap qadha’ (taqdir) Allah ‘azza wa jalla, yaitu dengan tidak menyesalinya. Ungkapan lain untuk ketiga macam sabar ini, “Seorang hamba itu haruslah memenuhi tiga perkara; mengerjakan perintah, meninggalkan larangan, dan bersabar terhadap takdir.”
Dari sisi lain, sabar ada dua; ikhtiyaari (dapat diusahakan) dan idh-thiraari (tidak dapat ditolak). Sabar jenis pertama lebih utama dari pada yang kedua. Sabar idh-thiraari dapat dimiliki oleh semua orang, termasuk yang tidak dapat bersabar ikhtiyaari. Itulah sebabnya sabar Yusuf terhadap godaan Zulaikha, lebih besar nilainya daripada kesabaran ketika ia dibuang oleh saudara-saudaranya.
Demikianlah manusia senantiasa memerlukan kesabaran setiap saat, dalam segala kondisi. Sebab, manusia itu hidup diantara perintah yang harus dia kerjakan, larangan yang harus ia dijauhi, takdir yang harus ia terima, dan nikmat yang harus ia syukuri. Karena keempat keadaan ini tidak lepas darinya, maka sabar harus ada padanya sampai mati.
Segala sesuatu yang dihadapi oleh seorang hamba di dunia ini pasti merupakan salah satu dari dua hal; sesuatu yang sesuai dengan hawa nafsu dan keinginannya atau sebaliknya. Ia membutuhkan kesabaran untuk kedua-duanya. Untuk perkara yang sesuai dengan keinginannya seperti kesehatan, kehormatan, dan harta, ia harus bersabar ditinjau dari berbagai sisi. Antara lain:
Ia tidak boleh berambisi kepadanya dan tertipu karenanya. Perkara ini juga jangan sampai membuatnya sombong dan angkuh yang dibenci oleh Allah ‘azza wa jalla.
Tidak boleh serakah dalam menggapainya.
Harus bersabar di dalam menunaikan hak-hak Allah ‘azza wa jalla sehubungan dengan perkara-perkara itu.
Ia harus bersabar untuk tidak memanfaatkannya pada perkara-perkara yang diharamkan.
Sebagian salaf berkata, ”Terhadap bala’ (musibah), orang mukmin maupun kafir bisa bersabar.”
Abdurrahman bin Auf berkata, ”Kami telah diuji dengan kesempitan dan kami bisa bersabar. Lalu kami diuji dengan kemudahan tetapi kami tidak bisa sabar”.
Oleh karenanya Allah ‘azza wa jalla memperingatkan hamba-hambanya terhadap fitnah harta, istri-istri dan anak-anak.
Allah ‘azza wa jalla berfirman :
”Hai orang-orang yang beriman, jangan sampai anak-anak dan hartamu melalaikanmu dari dzikrullah” (Al-Munafiqun : 9)
Adapun perkara yang tidak sesuai dengan hawa nafsu, jika tidak berkaitan dengan ikhtiar seorang hamba, seperti ketaatan atau kemaksiatan, pasti pada mulanya tidak berkaitan dengan ikhtiarnya seperti musibah yang menimpa, atau awalnya berkaitan dengan ikhtiarnya. Tetapi setelah ia masuk ke dalamnya, ia tidak mampu melepaskan diri darinya.
Jadi, ada tiga macam :
Pertama, yang berkaitan dengan ikhtiarnya. Ini meliputi seluruh aktivitas; bisa berupa ketaatan, bisa pula berupa kemaksiatan. Sehubungan dengan ketaatan, seorang hamba membutuhkan kesabaran, karena tabiat manusia cenderung menjauhi berbagai bentuk ibadah.
Misalnya di dalam shalat. Ada rasa malas dan lebih mengutamakan rehat. Belum lagi jika ditambah dengan kerasnya hati, kotornya dosa, kecenderungan kepada syahwat, dan berteman dengan orang-orang yang lalai.
Misal yang lain, didalam zakat ada sifat bakhil dan kikir didalam diri. Begitu pula dengan hati dan jihad. Demikianlah, seorang hamba membutuhkan kesabaran pada tiga keadaan; sebelum berbuat, selama berbuat, dan seusai berbuat suatu kebajikan.
Sabar sebelum berbuat kebajikan,adalah dengan meluruskan niat dan ikhlas di dalamnya.
Sabar selama berbuat kebajikan, adalah dengan berusaha menjauhi faktor-faktor yang mendorong taqshir (berbuat baik semaunya sendiri) atau pun tafrith (berbuat baik dengan dilebih-lebihkan). Juga mengusahakan agar niat selalu ada sepanjang amal, dan menghadirkan hati selama anggota badan bergerak beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla.
Sabar seusai berbuat kebajikan yaitu dengan bersabar terhadap hal-hal yang dapat membatalkan perbuatannya, seperti riya’, ujub, dan takabbur. Juga bersabar untuk tetap menjaganya sebagai amal yang tersembunyi, dan tetap tidak menampakkannya.
Sungguh, jika seorang hamba mengerjakan suatu amal yang hanya diketahui oleh Allah ‘azza wa jalla, niscaya akan ditulis dalam catatan rahasia. Lalu bila ia membicarakannya dipindahkanlah ke catatan amal terang-terangan. Jadi, yang disangka setelah selesai mengerjakan suatu amal itu selesai juga kewajiban sabar terhadapnya.
Sabar terhadap kemaksiatan itu telah jelas. Diantara hal yang membantu seseorang dalam meraihnya, adalah dengan memutuskan hubungan dengan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsu dan meninggalkan siapa saja yang selama ini mendorongnya untuk itu, baik majlisnya atupun pembicaraan dengannya.
Kedua, sabar yang tidak termasuk ruang lingkup ikhtiar, dan tidak ada daya bagi hamba untuk menolaknya. Seperti datangnya musibah, baik yang bukan merupakan usaha manusia---seperti kematian, atau pun yang merupakan usaha manusia---seperti celaan dan pukulan.
Sehubungan dengan yang pertama, ada empat macam tingkatan manusia dalam menghadapinya. Yaitu :
Sikap lemah, cepat berkeluh kesah.
Sikap sabar.
Sikap ridha.
Sikap syukur. Yaitu dengan memandang sebuah ujian sebagai suatu nikmat, sehingga orang yang diuji pantas mensyukurinya.
Sedangkan sehubungan dengan yang menimpanya karena perlakuan manusia, juga ada empat sikap. Yaitu :
Sikap memaafkan.
Sikap melapangkan dada dari keinginan untuk membalasnya.
Sikap menganggapnya sebagai takdir.
Sikap berbuat baik kepada orang yang telah berbuat jahat kepadanya.
Ketiga, sabar terhadap perkara yang muncul karena ikhtiarnya, tetapi belakangan ini tidak mampu lagi menghindarinya (tidak ada lagi unsur ikhtiar).

Dinukil dari Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih, Ibnu Rajab Al-Hambali-Inbu Qayyim Al-Jauziyyah-Imam Al-Ghazali, alih bahasa Imtihan As Syafi’i. Pustaka Arafah hal 97-108. Cetakan I september 2001.





79.HR Bukhary Az-Zakaah III/335 dan Muslim, Az-Zakaah VII/144 dari Abu Sa’id Al-Khudry.